Trenggalek – Redaksi7.com - Dalam iklim demokrasi yang sehat, kehadiran wartawan di institusi pendidikan seharusnya menjadi momen positif untuk membangun kepercayaan publik melalui keterbukaan informasi. Namun, sayangnya, sebuah peristiwa ironis terjadi di SMA Negeri 1 Durenan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur.
Sejumlah wartawan dari berbagai media nasional dan lokal datang dengan tujuan mulia: melaksanakan tugas jurnalistik berupa pencarian, konfirmasi, dan penyampaian informasi kepada masyarakat. Fokus utama mereka adalah menggali informasi mengenai kesiapan sekolah dalam menghadapi ujian nasional sebuah tema yang sejatinya turut mendukung citra baik sekolah di mata publik.
Namun, kedatangan mereka justru disambut dingin oleh seorang oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial AN, yang bertugas sebagai Humas sekolah tersebut. Bukan sambutan ramah yang didapat, melainkan penolakan dan sikap curiga yang menciptakan jarak antara lembaga pendidikan dan publik.
Kejadian bermula sekitar pukul 10.00 WIB, ketika wartawan secara sopan menyerahkan kartu pers kepada petugas keamanan untuk diinformasikan ke pihak dalam. Sesuai prosedur umum, mereka menunggu dengan sabar, berharap bisa melakukan wawancara resmi. Namun, AN justru datang dengan sikap kaku, mempertanyakan legalitas media yang dibawahi para wartawan dan menunjukkan lembaran SOP internal sekolah, seolah hendak membatasi kegiatan jurnalistik yang sebenarnya sah menurut undang-undang.
Padahal, perlu dipahami bahwa wartawan yang mendatangi instansi-instansi—baik sekolah, kantor pemerintahan, maupun lembaga publik lainnya—bertujuan untuk Mengumpulkan dan mengonfirmasi informasi akurat guna disampaikan kepada masyarakat luas, Membangun komunikasi positif antara institusi dan publik dengan mempublikasikan capaian, program, serta inovasi yang ada, Mengawal transparansi dan membantu institusi membangun citra baik melalui pemberitaan yang berimbang dan bertanggung jawab, Menjadi jembatan informasi yang menghubungkan kebijakan dan pelayanan instansi kepada rakyat.
Tugas ini dilindungi penuh oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin hak wartawan untuk mencari, memperoleh, menyimpan, dan menyebarluaskan informasi. Legalitas media pun tidak hanya bergantung pada daftar Dewan Pers, melainkan juga pada keberadaan badan hukum dan aktivitas jurnalistik yang nyata.
Yoyok, salah satu wartawan yang hadir, menegaskan, "Kami datang bukan untuk mencari-cari kesalahan. Kami ingin memberitakan kesiapan sekolah menghadapi ujian nasional, memperkenalkan prestasi, dan memastikan publik mendapat informasi yang benar. Legalitas kami bisa dicek secara terbuka."
Ironisnya, sikap eksklusif yang ditunjukkan AN justru memunculkan pertanyaan: Apa yang ditakutkan? Mengapa sekolah negeri yang seharusnya menjadi contoh keterbukaan malah terlihat menutup diri?. Sikap seperti ini berpotensi bertentangan tidak hanya dengan UU Pers, tetapi juga dengan prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Pers adalah mitra pembangunan, bukan musuh. Kehadiran wartawan di sekolah semestinya dimanfaatkan untuk memperkuat citra positif, membangun kepercayaan masyarakat, dan menghidupkan semangat transparansi di dunia pendidikan.
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur dan instansi terkait diharapkan turun tangan menyikapi persoalan ini, agar nilai-nilai keterbukaan dan komunikasi yang sehat tetap terjaga. Pendidikan adalah milik rakyat, dan rakyat berhak tahu apa yang terjadi di dalamnya.
( Bayu Krisna )
0 Komentar